Tragis, Kemiskinan Ekstrem ini Terjadi dalam Sistem Kapitalisme

Ilustrasi kemiskinan. ©2019 Merdeka.com/Pixabay

Ekonom menilai target pemerintah mencatat kemiskinan ekstrem 0 persen di 2024 sulit terwujud, terlebih adanya masa transisi politik.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai upaya mengejar angka 0 persen kemiskinan ekstrem di tahun depan tidak mudah karena ada pergantian pemerintahan.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, sanitasi layak, kesehatan, hunian, pendidikan hingga akses informasi.

Jika pemerintah serius mengejar target tersebut, Yusuf menyarankan untuk jangka pendek harus pemerintah memperbaiki data penyaluran bantuan sosial agar tepat sasaran. Sasarannya tak cuma penduduk miskin, tetapi juga kelompok di garis rentan dan hampir miskin.

Yusuf juga menyarankan perlunya diversifikasi nilai bansos antara satu daerah dengan lainnya. Bila daerahnya memiliki tingkat kemiskinan tinggi, maka jumlah bantuannya harus lebih besar dari sisi nominal maupun jumlah penerima.

Untuk jangka panjang, menurutnya pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya manufaktur. (CNN)

Dikutip dalam Liputan6.com, Jakarta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia yang harus dientaskan masih tinggi, terutama kemiskinan ekstrem.Menteri Suharso mengungkapkan, outlook jumlah kemiskinan di Indonesia pada tahun 2024 mendatang adalah 7,99 persen, apabila kondisi pelaksanaan program belum dan data belum berubah.

(Bappenas) Suharso Monoarfa menyebut target pengentasan kemiskinan ekstrem nol pada 2024 diturunkan menjadi 2,5 persen. Untuk mencapai target nol, pemerintah perlu mengentaskan kemiskinan terhadap 5,6 juta orang pada 2024. Penurunan target tersebut, kata Suharso, mengacu pada batas garis kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia, yakni penghasilan US$2,15 per atau Rp32.035 per orang per hari (asumsi kurs Rp14.900 per dolar AS).

Kemiskinan memang selalu saja jadi PR besar bagi tiap rezim pemerintahan. Namun, ironisnya, problem ini selalu jadi jualan politik saat jelang pesta lima tahunan. Para pemburu kekuasaan tidak sungkan-sungkan berjanji akan serius mengentaskan kemiskinan. Seraya membius masyarakat dengan embusan “angin surga” kesejahteraan.

Hanya saja, fakta pula yang bicara. Dari rezim ke rezim, tsunami kemiskinan tidak juga reda. Kalaupun ada penurunan, kadang hanya klaim dan tidak sesuai dengan kenyataan. Terlebih standar kemiskinan yang digunakan sering kali tidak sejalan dengan nilai kemanusiaan.

Setiap rezim pemerintahan selalu mengeklaim sudah berusaha keras untuk memerangi kemiskinan dan semua problem yang mengikutinya. Pemerintahan Jokowi misalnya, sudah sejak periode pertama mencanangkan empat langkah strategis untuk menekan angka kemiskinan. Targetnya, pada 2019 angka kemiskinan turun menjadi 9% saja.

Keempat langkah strategis tersebut meliputi (1) perluasan target dan kenaikan anggaran program, (2) transformasi penyaluran bantuan, (3) integrasi bansos berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), dan (4) pendampingan sosial. Bahkan terkait dampak pandemi, pemerintah mencanangkan program extraordinary Pemulihan Ekonomi Nasional melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.

Sementara itu, untuk memberantas kemiskinan ekstrem telah keluar pula Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 04 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang menyebut tiga strategi utama untuk melaksanakan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Pertama, pengurangan beban pengeluaran masyarakat. Kedua, meningkatkan pendapatan masyarakat. Ketiga, berupa penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan. Targetnya, pada 2024 kemiskinan ekstrem menjadi hilang alias nol persen.

Masalahnya, program-program seperti ini bersifat pragmatis dan sering kali hanya menyentuh aspek cabang dari semua problem kemiskinan. Semisal bantuan dan jaminan sosial yang sering dibangga-banggakan. Sebagian kritikus menyebut program semacam itu seperti “obat balsam” yang hanya meredakan gejala nyeri sementara saja. Adapun problem akarnya tidak pernah bisa tuntas.

Apalagi sumber anggaran berasal dari utang riba, dan sebagiannya dikorupsi pula. Jadilah seperti ungkapan sarkas, mengatasi kemiskinan, seperti tambal sulam; mengatasi masalah dengan masalah.

Semestinya mudah dipahami bahwa problem kemiskinan bukanlah problem tunggal, seperti persoalan budaya, mental, atau ketepatan program. Bukan pula masalah personal, lokal, regional, atau nasional.

Kemiskinan adalah problem kompleks yang berakar dari penerapan sistem politik ekonomi yang asasnya rusak sehingga memproduksi berbagai kerusakan. Sistem ini tidak lain adalah sistem kapitalisme neoliberal yang tegak di atas asas sekularisme dan diusung negara-negara adidaya, lalu dipaksakan penerapannya di negeri-negeri lainnya.

Satu-satunya cara keluar dari problem ini adalah melakukan koreksi total atas sistem yang ada dan mengubahnya dengan sistem yang berbeda dan menjadi versus baginya. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam yang tegak di atas asas akidah dan standar halal haram.

Akuntabilitas sistem Islam dalam menjamin kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan bagi semua orang bukan sekadar teori atau wacana mengawang-awang. Belasan abad lamanya sistem ini tegak dan melahirkan peradaban mulia dan melahirkan masyarakat dengan level kesejahteraan yang tiada bandingan.

Negara atau penguasa dalam sistem Islam benar-benar akan memfungsikan dirinya sebagai pengurus umat sekaligus pelindung mereka secara orang per orang. Ini karena mereka paham bahwa kepemimpinan adalah amanah berat yang harus siap dipertanggungjawabkan di keabadian.

Oleh karenanya, negara akan secara konsisten menerapkan seluruh hukum Islam, terutama sistem politik ekonomi Islam, serta sistem-sistem lainnya yang mencegah kezaliman, termasuk penguasaan kekayaan oleh segelintir orang. Negara Islam juga pantang tunduk pada tekanan asing dan menolak segala bentuk penjajahan, bahkan siap memimpin peradaban dalam skala global.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel