LPG Melon (Kembali) Langka, Ada Apa?
Ilustrasi foto: sumeks.co
Akhwat Muslimah - Beberapa hari lalu, beredar foto di media sosial yang memperlihatkan produk Bright Gas 3 kg. Tabungnya berwarna pink seperti yang ukuran 5,5 kg, namun ukurannya lebih kecil karena isinya 3 kg. Kemudian ada juga tulisan "LPG Non Subsidi" di tabung Bright Gas 3 Kg itu.
Banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang Bright gas 3 Kg yang diproduksi Pertamina itu. Selama ini konsumen mayoritas menggunakan Bright Gas yang 5,5 kg dan 12 Kg, serta LPG 3 Kg yang berwarna hijau atau gas melon, yang merupakan barang bersubsidi.
Nyatanya, Bright Gas 3 Kg sudah diluncurkan sejak tahun 2018 oleh Pertamina Patra Niaga. Meski sudah jalan 5 tahun dipasarkan, penjualannya sangat minim. Lantaran hanya dijual di Jabodetabek dan Surabaya.
Karena bukan barang bersubsidi, harga Bright Gas 3 Kg mengikuti harga gas dunia seperti yang kemasan 5,5 kg dan 12 kg. Begitu juga jika ada penurunan harga gas dunia, maka harga Bright Gas 3 Kg juga ikut turun. Pertamina kini menjual Bright gas 3 Kg seharga Rp56.000, jauh kebih mahal dari gas melon yang sekitar Rp20.000 karena sudah disubsidi pemerintah.
Meski harganya lebih mahal, tidak ada perbedaan kualitas gas yang terdapat di LPG 3 Kg tabung hijau dengan yang ada di Bright Gas 3 Kg. Namun menurut Irto, tabung gas pink lebih aman. (kompas.tv)
Timbul pertanyaan, apabila tabung pink lebih aman, lantas apakah tabung melon tidak atau kurang aman? Bukankah standarisasi produk yang diperuntukan konsumen harus melewati tahapan yang ketat?
Menanggapi hal ini, dilansir dari dpr.go.id, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai langkah pemerintah meluncurkan produk LPG 3kg non subsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal di tengah masyarakat yang kesulitan mendapatkan gas LPG 3 kg bersubsidi, sebagai sebuah tindakan yang ia sebut “super tega” pada masyarakat.
Ia memperkirakan hadirnya LPG 3 kg non subsidi itu akan meningkatkan tindak penyalahgunaan LPG 3kg bersubsidi oleh pihak tertentu. Mengingat selisih harga jualnya sangat besar. Dimana saat ini Pertamina menjual LPG 3 kg merek Bright seharga Rp56.000 terbatas di Jakarta dan Surabaya. Sementara gas melon 3 kg bersubsidi sebesar Rp20.000.
Dijelaskannya, selama ini salah satu modus penyimpangan gas melon bersubsidi yang ditemukan aparat adalah pengoplosan, yaitu dengan memindahkan isi gas elpiji dari tabung melon 3 kg bersubsidi ke dalam tabung 12 kg non subsidi. Modus ini tidak lain mengubah dari barang bersubsidi dijual menjadi barang non-subsidi yang berharga mahal.
Menurut Politisi Fraksi PKS ini, dari ukuran gas yang berbeda saja kerap terjadi pengoplosan gas elpiji. Apalagi kalau barang dan ukurannya serupa, hanya merubah warna tabung dari warna hijau melon ke warna pink saya, maka akan berubah dari barang bersubsidi menjadi barang non-subsidi. Ini tentu semakin rawan.
Sebagai informasi, di tengah harga gas LPG dunia yang terus merosot hampir setengahnya sejak puncaknya di awal tahun 2022, harga LPG di Indonesia tetap bertahan. Kenyataan di lapangan malah justru muncul kelangkaan gas LPG 3 kg dengan harga yang melejit. Sebagaimana terjadi di daerah seperti Balikpapan, Makasar, Bali, Banyuwangi, sumbar, dan lainnya.
Sementara itu, menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, menyatakan penyebab langkanya elpiji 3 kg adalah peningkatan konsumsi di masyarakat.
“Juli ini memang ada peningkatan konsumsi sebesar 2% sebagai dampak dari adanya libur panjang beberapa waktu lalu,” ungkapnya. (CNN Indonesia, 27-7-2023).
Nicke menyampaikan bahwa telah terjadi salah sasaran dalam penyaluran elpiji 3 kg. Menurut data pemerintah, terdapat 60 juta rumah tangga yang berhak menerima subsidi elpiji dari total 88 juta rumah tangga atau sekitar 68%. Akan tetapi, saat ini penjualan elpiji melon mencapai 96%. Nicke menyatakan bahwa hal ini mengindikasikan ada subsidi yang salah sasaran.
Terkait langkanya elpiji 3 kg, Presiden Jokowi menyatakan bahwa elpiji 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat miskin. “Elpiji itu terutama yang bersubsidi memang diperebutkan di lapangan, dan itu hanya untuk yang kurang mampu,” ujarnya. (CNBC Indonesia)
Jelas bahwasanya negara telah abai pada kepentingan mendasar bagi masyarakat, kelalaian ini memang sejatinya dipelihara karena subsidi bagi rakyat dianggap membebani negara. Pemerintah merasa keberatan karena subsidi dianggap membebani APBN. Inilah ciri khas dari Sistem Kapitalisme, dimana kebutuhan rakyat agar mendapatkan haknya dengan adil tidak akan bisa terpenuhi.
Tentu sangat bertolak belakang dengan Sistem Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya.
Sistem Islam menjamin ketersediaan energi di tengah masyarakat. Baik untuk memasak, transportasi, penerangan, maupun yang lainnya. Negara akan menggunakan sumber daya alam yang dimiliki untuk menyediakan bagan bakar bagi rakyat dengan harga murah atau bahkan gratis. Bisa berupa listrik, BBM, elpiji, LNG, maupun energi alternatif seperti bayu, panas bumi, nuklir, dll..
Dengan beragamnya kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri-negeri muslim, berbagai sumber energi bisa digunakan, tidak harus tergantung pada minyak bumi jika memang jumlahnya makin menipis. Untuk keperluan memasak, negara bisa menyalurkan LNG yang jumlahnya berlimpah di Indonesia melalui pipa-pipa ke rumah warga.
Penyediaan LNG maupun jaringan dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab negara. Negara tidak boleh mengambil untung darinya. Negara boleh saja menjualnya ke rakyat, tetapi sebatas biaya operasional.
Sayangnya, selama ini LNG tersebut dijual kepada asing dengan harga murah, sedangkan rakyat harus kesulitan untuk memasak. Inilah yang terjadi ketika negara dikelola menggunakan aturan yang salah. Padahal Allah sudah memerintahkan untuk mengelola negara dengan aturan Allah Taala, yakni syariat Islam.
Firman Allah Swt. di dalam QS Al-Maidah: 49,
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”
Wallahualam.